Tuhan, bantu kami. Selamatkan kami dari ketamakan yang telah menggerogoti nurani.
Seribu satu setan mengelilingi kursi itu. Mengipasi tubuh dari kanan kiri, memijat pundak dari atas, mengelapi kaki di bawah. Di kursi itu, seribu satu setan mendayu-dayu di telinga; Puaskan! Puaskan dirimu, selagi masih bisa.
Pasti empuk sekali, kan? Kursi yang terduduki selama dua periode itu jelas bantalannya tidak terbuat dari kapas sembarangan. Barangkali dibeli dari luar negeri dan perlu merogoh kocek yang dalam.
Apa harganya setara dengan mobil mewah yang membawa keluarga kemana-mana? Atau mungkin seharga kalung berlian yang menghiasi leher para wanita di istana? Kursi yang diduduki dengan kehormatan yang terkikis, kursi yang menumbuhkan kerakusan yang mengikis.
Apa harganya setara dengan keringat yang tumpah dari rakyat yang hampir mati mencari uang, demi sesuap nasi untuk bertahan hidup satu hari lagi? Kursi yang menyaksikan keringat rakyat menetes tanpa henti, kursi yang membiarkan keringat itu mengering tanpa arti.
Kursi sang raja di istana. Kursi yang menciptakan ilusi kekuasaan hingga tak sadar menjadi sedemikian serakah. Kursi yang melenakan hingga lupa bahwa waktu tak pernah bisa diputar, kursi yang menenggelamkan dalam mimpi kekuasaan tanpa sadar.
Negara ini bisa bebas dari penjajah bukan karena tangan-tangan buyutmu yang menodongkan tombak kayu. Tidak juga karena orang tuamu yang melemparkan batu-batu. Bukan pula, sial, karena lidah anak-anak emasmu yang lihai memutar kata dan mengelabui.
Merdeka ini, bukan hasil dari tipu daya. Bukan pula hasil dari janji-janji tanpa nyawa. Darah yang tumpah demi satu kata: MERDEKA, tak seharusnya diinjak-injak sehina ini.
Merdeka yang diraih dengan darah, kini ternoda oleh kerakusan yang membuncah.
Nyawa yang melayang demi kenyamanan hidupmu yang sekarang, tak seharusnya dikhianati sedalam ini. Nyawa yang melayang demi kebebasan yang sejati, kini terjual murah dalam demokrasi yang mati.
Demi Tuhan! Darah dan nyawa yang terkenang itu tidak berjuang demi negeri ini menjadi milik segelintir orang. Darah dan nyawa yang berjuang demi semua, kini dipermainkan oleh yang serakah tanpa merasa bersalah.
Bagaimana aku harus menjelaskan kebobrokan ini?
Culas dan tak tahu malu.
Ternyata duduk di kursi empuk itu membuat seseorang menjadi setamak ini. Apa yang sulit dari mengakhiri masa jabatan dengan damai kemudian melanjutkan hidup seperti biasa? Akhiri saja dengan hormat, tanpa harus menambah daftar aib yang merambat.
Seberapa besar ancaman yang membayangi jika kekuasaan tidak lagi di tangan? Sebesar apa ancaman yang datang, hingga harus terus bergelayut pada kekuasaan tanpa pandang?
Sampai-sampai segala cara dihalalkan. Menyisihkan yang ingin bertarung dengan adil dan jujur. Menjegal lawan dengan cara paling hina, tapi sesungguhnya, kehinaan itu ada pada diri yang paling rakus.
Hinaan yang sejati ada pada mereka yang mengira bisa membeli waktu, pada mereka yang lupa bahwa kekuasaan sejati ada di tangan rakyat itu.
Tidak perlu setengah-setengah. Berikan saja dari sekarang jabatan-jabatan itu kepada cucu-cucu. Toh anak menantu pun sudah memegang bagian masing-masing. Tak perlu malu-malu, wariskan saja jabatan-jabatan itu!
Ayah yang baik.
Seharusnya setiap ayah di negara ini mengikuti jejaknya. Mencarikan kerja untuk anak, hingga melupakan harga diri dan rasa malu.
Tidak perlu repot-repot mengirimkan lamaran ke sana-sini, apalagi menerjang terik matahari demi sebuah kursi di ruangan ber-AC.
Biarkan ayah yang bekerja. Bekerja untuk memastikan bahwa anak-anaknya bisa menikmati warisan kecurangan yang sama.
Sementara di sudut lain, orang-orang yang dijanjikan ini dan itu mati kelaparan. Sebagian pingsan kepanasan berjalan sana-sini untuk menjajakan dagangan. Sisanya? Entah. Mungkin sudah kehilangan harapan untuk sejahtera di tanah ini. Janji-janjinya terbang bersama angin, sementara harapan rakyat kian hari kian layu dan dingin.
Anak-anak dari golongan itu mungkin tidak tahu, umur 25 bagi orang biasa di pekerjaan sudah mendekati masa expired. Setelahnya, orang-orang biasa harus berjuang mati-matian demi menyambung hidup. Sedangkan bagi mereka? Umur 25 adalah awal karir sebagai pemimpin.
Bagus, ya? Pemimpin muda yang dilahirkan dari kursi-kursi empuk jelas tak pernah merasakan kerasnya jalan yang berbatu.
Ironi.
Ironi yang mencerminkan betapa jauhnya jarak antara yang di atas dan yang di bawah.
Mungkin dalam sehari, puluhan juta rupiah dihabiskan untuk memuaskan ego. Namun bagi orang-orang biasa, lima ratus ribu mampu menyambung harapan untuk hidup selama satu bulan. Lima ratus ribu yang menjadi penyambung nyawa, sementara miliaran rupiah dihabiskan untuk hal-hal yang tak punya arti nyata.
Bagi orang-orang biasa, makan nasi dengan garam adalah sesuatu yang patut disyukuri. Garam yang menggarami luka, sementara yang di atas sibuk menggarami keangkuhan mereka.
Bagi orang-orang biasa, tiga puluh ribu sehari untuk menghidupi satu rumah adalah berkat. Berkat yang diterima dengan tangan terbuka, sementara yang di atas terus menambah tumpukan dosa.
Bagi orang-orang biasa, bisa makan sekali sehari saja sudah cukup. Cukup untuk tetap berdiri, cukup untuk tetap berharap di tengah segala kepalsuan yang mereka tanggung.
Dan hidup orang-orang inilah yang dijadikan permainan paling menjijikkan. Permainan yang dimainkan tanpa rasa bersalah, tanpa rasa empati pada mereka yang sebenarnya memegang kuasa nyata.
Demokrasi telah menjadi oligarki, kekuasaan yang seharusnya ada di tangan rakyat, kini berpindah ke tangan segelintir penguasa. Suara-suara yang dulu lantang meneriakkan kebebasan, kini dibungkam oleh janji-janji kosong yang tak pernah ditepati.
Pemimpin yang seharusnya mengabdi, kini justru meminta rakyat untuk mengabdi pada mereka. Seolah lupa bahwa kekuasaan adalah mandat, bukan warisan yang bisa diwariskan begitu saja.
Sistem yang dirancang untuk melindungi hak-hak rakyat, kini dijadikan alat untuk menindas mereka. Rakyat yang seharusnya menjadi tuan, kini diperlakukan sebagai budak dalam sistem yang bobrok.
Janji-janji yang seharusnya ditepati, kini menjadi sekadar kata-kata manis yang hilang ditelan angin. Kata-kata yang kosong dari makna, kata-kata yang mencerminkan kebobrokan dalam demokrasi kita.
Semoga Tuhan mengampuni dosa-dosa pemimpin kami?
Ck! Yang benar saja.
Kami pun nyaris mati dikebiri pemimpin sendiri.